Cerita Dewasa, Sex Cerita Bergambar terlengkap terbaru 2015
aduh ayahku nakal
Cerita Mesum sedarah
»
Judul : aduh ayahku nakal
Aduh Ayahku
Aku adalah anak tunggal. Ibuku adalah seorang
wanita yang disiplin dan agak keras sedangkan
ayahku kebalikannya bahkan bisa dikatakan
bahwa ayah di bawah bendera ibu. Bisa
dikatakan ibulah yang lebih mengatur segala-
galanya dalam keluarga. Namun, walaupun ibu
keras, di luar rumah aku termasuk cewek
bandel dan sering tukar-tukar pacar, tentunya
tanpa sepengetahuan ibuku. Tapi suatu saat,
pada saat aku duduk di kelas 2 SMA, ibuku pergi
mengunjungi nenek yang sakit di kampung. Dia
akan tinggal di sana selama 2 minggu. Hatiku
bersorak. Aku akan bisa bebas di rumah. Tak
akan ada yang memaksa-maksa untuk belajar.
Aku juga bebas pulang sore. Kalau Ayah, yah..
dia selalu kerja sampai hampir malam.
Pulang sekolah, aku mengajak pacarku, Anton,
ke rumah. Aku sudah beberapa kali
mengadakan hubungan kelamin dengannya.
Tetapi hubungan tersebut tidak pernah betul-
betul nikmat. Selalu dilakukan buru-buru
sehingga aku tidak pernah orgasme. Aku
penasaran, bagaimana sih nikmatnya orgasme?
Singkat cerita, aku dan Anton sudah berada di
ruang tengah. Kami merasa bebas. Jam masih
menunjukkan angka 3:00 sedangkan ayah selalu
pulang pukul enam lewat. So, cukup waktu
untuk memuaskan berahi. Kami duduk di sofa.
Anton dengan segera melumat bibirku.
Kurasakan hangatnya bibirnya. "Ah.." kurangkul
tanganku ke lehernya. Ciumannya semakin
dalam. Kini lidahnya yang mempermainkan
lidahku. Tangannya pun mulai bermain di kedua
bukitku. Aku benar-benar terangsang. Aku
sudah bisa merasakan bahwa vaginaku sudah
mulai basah. Segera kujulurkan tanganku ke
perut bawahnya. Aku merasakan bahwa daerah
itu sudah bengkak dan keras. Kucoba membuka
reitsleting celananya tapi agak susah. Dengan
segera Anton membukakannya untukku. Bagai
tak ingin membuang waktu, secara bersamaan,
aku pun membuka kemeja sekolahku sekaligus
BH-ku tapi tanpa mengalihkan perhatianku
pada Anton. Kulihat segera sesudah CD Anton
lepas, senjatanya sudah tegang, siap berperang.
Kami berpelukan lagi. Kali ini, tanganku bebas
memegang burungnya. Tidak begitu besar, tapi
cukup keras dan berdiri dengan tegangnya.
Kuelus-elus sejenak. Kedua telurnya yang
dibungkus kulit yang sangat lembut, sungguh
menimbulkan sensasi tersendiri saat kuraba
dengan lembut. Penisnya kemerah-merahan,
dengan kepala seperti topi baja. Di ujungnya
berlubang. Kukuakkan lubang kecil itu, lalu
kujulurkan ujung lidahku ke dalam. Anton
melenguh. Expresi wajahnya membuatku
semakin bergairah. "Ah.." kumasukkan saja
batang itu ke mulutku. Anton melepaskan
celana dalamku lalu mempermainkan vaginaku
dengan jarinya. Terasa sentuhan jarinya
diantara kedua bibir kemaluanku. Dikilik-
kiliknya klitorisku. Aku makin bernafsu. Kuhisap
batangnya. Kujilati kepala penisnya, sambil
tanganku mempermainkan telurnya dengan
lembut. Kadang kugigit kulit telurnya dengan
lembut.
"Nit, pindah di lantai saja yuk, lebih bebas!"
Tanpa menunggu jawabanku, dia sudah
menggendongku dan membaringkanku di lantai
berkarpet tebal dan bersih. Dibukanya rok abu-
abuku, yang tinggal satu-satunya melekat di
tubuhku, demikian juga kemejanya. Sekarang
aku dan dia betul-betul bugil. Aku makin
menyukai suasana ini. Kutunggu, apa yang akan
dilakukannya selanjutnya. Ternyata Anton naik
ke atas tubuhku dengan posisi terbalik, 69.
Dikangkangkannya pahaku. Selanjutnya yang
kurasakan adalah jilatan-jilatan lidahnya yang
panas di permukaan vaginaku. Bukan itu saja,
klitorisku dihisapnya, sesekali lidahnya
ditenggelamkannya ke lubangku. Sementara
batangnya tetap kuhisap. Aku sudah tidak tahan
lagi.
"Ton, ayo masukin saja."
"Sebentar lagi Nitt."
"Ah.. aku nggak tahan lagi, aku mau batangmu,
please!"
Anton memutar haluan. Digosok-gosokannya
kepala penisnya sebentar lalu.. "Bless.." batang
itu masuk dengan mantap. Tak perlu diolesi
ludah untuk memperlancar, vaginaku sudah
banjir. Amboy, nikmat sekali. Disodok-sodok,
maju mundur.. maju mundur. Aku tidak tinggal
diam. Kugoyang-goyang juga pantatku. Kadang
kakiku kulingkarkan ke pinggangnya.
Tiba-tiba, "Ah.. aku keluar.." Dicabutnya
penisnya dan spermanya berceceran di atas
perutku.
"Shit! Sama saja, aku belum puas, dia sudah
muntah," rungutku dalam hati.
Tapi aku berpikir, "Ah, tak mengapa, babak
kedua pasti ada."
Dugaanku meleset. Anton berpakaian.
"Nit, sorry yah.. aku baru ingat. Hari ini rupanya
aku harus latihan band, udah agak telat nih," dia
berpakaian dengan buru-buru. Aku betul-betul
kecewa.
"Kurang ajar anak ini. Dasar egois, emangnya
aku lonte, cuman memuaskan kamu saja."
Aku betul-betul kecewa dan berjanji dalam hati
tak akan mau mainlagi dengannya. Karena kesal,
kubiarkan dia pergi. Aku berbaring saja di sofa,
tanpa mempedulikan kepergiannya, bahkan aku
berbaring dengan membelakanginya, wajahku
kuarahkan ke sandaran sofa.
Kemudian aku mendengar suara langkah
mendekat.
"Ngapain lagi si kurang ajar ini kembali,"
pikirku. Tapi aku memasang gaya cuek.
Kurasakan pundakku dicolek. Aku tetap cuek.
"Nita!"
Oh.. ini bukan suara Anton. Aku bagai disambar
petir. Aku masih telanjang bulat.
"Ayah!" aku sungguh-sungguh ketakutan, malu,
cemas, pokoknya hampir mati.
"Dasar bedebah, rupanya kamu sudah biasa
main begituan yah. Jangan membantah. Ayah
lihat kamu bersetubuh dengan lelaki itu. Biar
kamu tahu, ini harus dilaporkan sama ibumu."
Aku makin ketakutan, kupeluk lutut ayahku,
"Yah.. jangan Yah, aku mau dihukum apa saja,
asal jangan diberitahu sama orang lain
terutama Mama," aku menangis memohon.
Tiba-tiba, ayah mengangkatku ke sofa. Kulihat
wajahnya makin melembut.
"Nit, Ayah tahu kamu tidak puas barusan. Waktu
Ayah masuk, Ayah dengar suara-suara desahan
aneh, jadi Ayah jalan pelan-pelan saja, dan
Ayah lihat dari balik pintu, kamu sedang
dientoti lelaki itu, jadi Ayah intip aja sampai
siap mainnya."
Aku diam aja tak menyahut.
"Nit, kalau kamu mau Ayah puasin, maka
rahasiamu tak akan terbongkar."
"Sungguh?"
Ayah tak menjawab, tapi mulutnya sudah
mencium susuku. Dijilatinya permukaan
payudaraku, digigitnya pelan-pelan putingku.
Sementara tangannya sudah menjelajahi bagian
bawahku yang masih basah. Ayah segera
membuka bajunya. Langsung seluruhnya. Aku
terkejut. Kulihat penis ayahku jauh lebih besar,
jauh lebih panjang dari penis si Anton. Tak tahu
aku berapa ukurannya, yang jelas panjang,
besar, mendongak, keras, hitam, berurat,
berbulu lebat. Bahkan antara pusat dan
kemaluannya juga berbulu halus. Beda benar
dengan Anton. Melihat ini saja aku sudah
bergetar.
Kemudian Aku didudukkannya di sofa. Pahaku
dibukanya lebar-lebar. Dia berlutut di
hadapanku lalu kepalanya berada diantara
kedua pangkal pahaku. Tiba-tiba lidah hangat
sudah menggesek ke dalam vaginaku. Aduh,
lidah ayahku menjilati vaginaku. Dia menjilat
lebih lihai, lebih lembut. Jilatannya dari bawah
ke atas berulang-ulang. Kadang hanya klitorisku
saja yang dijilatinya. Dihisapinya, bahkan
digigit-gigit kecil. Dijilati lagi. Dijilati lagi. "Oh..
oh.. enak, Yah di situ Yah, enak, nikmat Yah,"
tanpa sadar, aku tidak malu lagi mendesah
jorok begitu di hadapan ayahku. Ayah
"memakan" vaginaku cukup lama. Tiba-tiba, aku
merasakan nikmat yang sangat dahsyat, yang
tak pernah kumiliki sebelumnya.
"Oh.. begini rupanya orgasme, nikmatnya," aku
tiba-tiba merasa lemas. Ayah mungkin tahu
kalau aku sudah orgasme, maka dihentikannya
menjilat lubang kewanitaanku. Kini dia berdiri,
tepat di hadapan hidungku, penisnya yang besar
itu menengadah. Dengan posisi, ayah berdiri
dan aku duduk di sofa, kumasukkan batang
ayahku ke mulutku. Kuhisap, kujilat dan kugigit
pelan. Kusedot dan kuhisap lagi. Begitu
kulakukan berulang-ulang. Ayah ikut
menggoyangkan pantatnya, sehingga batangnya
terkadang masuk terlalu dalam, sehingga bisa
kurasakan kepala penisnya menyentuh
kerongkonganku. Aku kembali sangat bergairah
merasakan keras dan besarnya batang itu di
dalam mulutku. Aku ingin segera ayah
memasuki lubangku, tapi aku malu
memintanya. Lubangku sudah betul-betul ingin
"menelan" batang yang besar dan panjang.
Tiba-tiba ayah menyeruhku berdiri.
"Mau main berdiri ini," pikirku.
Rupanya tidak. Ayah berbaring di sofa dan
mengangkatku ke atasnya.
"Masukkan Nit!" ujar Ayah.
Kuraih batang itu lalu kuarahkan ke vaginaku.
Ah.. sedikit sakit dan agak susah masuknya, tapi
ayah menyodokkan pantatnya ke depan.
"Aduh pelan-pelan, Ayah."
Lalu berhenti sejenak, tapi batang itu sudah
tenggelam setengah akibat sodokan ayah tadi.
Kugoyang perlahan. Dengan perlahan pula
batang itu semakin masuk dan semakin masuk.
Ajaibnya semakin masuk, semakin nikmat.
Lubang vaginaku betul-betul terasa penuh.
Nikmat rasanya. Karena dikuasai nafsu, rasa
maluku sudah hilang. Kusetubuhi ayahku
dengan rakus. Ekspresi ayahku makin
menambah nafsuku. Remasan tangan ayahku di
kedua payudaraku semakin menimbulkan rasa
nikmat. Kogoyang pantatku dengan irama keras
dan cepat.
Tiba-tiba, aku mau orgasme, tapi ayah berkata,
"Stop! Kita ganti posisi. Kamu nungging dulu."
"Mau apa ini?" pikirku.
Tiba-tiba kurasakan gesekan kepala penis di
permukaan lubangku kemudian.. "Bless.."
batang itu masuk ke lubangku. Yang begini
belum pernah kurasakan. Anton tak pernah
memperlakukanku begini, begitu juga Muklis,
lelaki yang mengambil perawanku. Tapi yang
begini ini rasanya selangit. Tak terkatakan
nikmatnya. Hujaman-hujaman batang itu terasa
menggesek seluruh liang kewanitaanku, bahkan
hantaman kepala penis itupun terasa
membentur dasar vaginaku, yang membuatku
merasa semakin nikmat. Kurasakan sodokan
ayah makin keras dan makin cepat. Perasaan
yang kudapat pun makin lama makin nikmat.
Makin nikmat, makin nikmat, dan makin
nikmat.
Tiba-tiba, "Auh..oh.. oh..!" kenikmatan itu
meladak. Aku orgasme untuk yang kedua
kalinya. Hentakan ayah makin cepat saja, tiba-
tiba kudengar desahan panjangnya. Seiring
dengan itu dicabutnya penisnya dari lubang
vaginaku. Dengan gerakan cepat, ayah sudah
berada di depanku. Disodorkannya batangnya
ke mulutku. Dengan cepat kutangkap, kukulum
dan kumaju-mundurkan mulutku dengan cepat.
Tiba-tiba kurasakan semburan sperma panas di
dalam mulutku. Aku tak peduli. Terus kuhisap
dan kuhisap. Sebagian sperma tertelan olehku,
sebagian lagi kukeluarkan, lalu jatuh dan
meleleh memenuhi daguku. Ayah memelukku
dan menciumku, "Nit, kapan-kapan, kalau nggak
ada Mama, kita main lagi yah." Aku tak
menjawab. Sebagai jawaban, aku menggelayut
dalam pelukan ayahku. Yang jelas aku pasti
mau. Dengan pacarku aku tak pernah
merasakan orgasme. Dengan ayah, sekali main
orgasme dua kali. Siapa yang mau menolak?
Sesudah itu asal ada kesempatan, kami
melakukannya lagi. Sementara mama masih
sering marah, dengan nada tinggi, berusaha
mengajarkan disiplin. Biasanya aku diam saja,
pura-pura patuh. Padahal suaminya, yang
menjadi ayahku itu, sering kugeluti dan
kunikmati. Beginilah kisah permainanku dengan
ayahku yang pendiam, tetapi sangat pintar di
atas ranjang.
T A M A T